Renungan Malam 14 Oktober 2019
KJ.422 : 1 – Berdoa
Markus 7 : 9 – 16
“tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (ay.15)
Persoalan najis dan tidak najis adalah persoalan yang erat dengan agama yang menekankan pemurnian. Murni artinya tidak najis. Hanya yang murni hidupnya, maka ia layak dihadapkan Tuhan. Sebaliknya, yang tidak murni alias najis, maka ia tidak layak bertemu dengan Allah. Persoalannya adalah siapa yang berhak menentukan seseorang najis atau tidak najis, murni atau tidak murni? Disinilah dialog Yesus dan orang Farisi dan ahli Taurat memperlihatkan persoalan itu.
Sebagai orang yang menganggap diri ahli agama, orang Farisi dan ahli Taurat menjadi orang-orang yang legalistik dengan peraturan agama tetapi melupakan sisi subtansi dari dirinya. Mereka menjadi penjaga adat istiadat Yahudi yang sudah diagamakan secara kaku. Akibatnya mereka pun menjadi penjaga moral yang ikut menilai moralitas orang lain. Sehingga hidup orang lain diukur dengan ukuran yang mereka pakai. Mereka menilai orang lain sebagai najis dan karena itu tidak layak dihadapkan Allah.
Yesus tampil dengan pesan utama agar siapapun tidak melupakan substansi dari aturan agama. Tujuan peraturan agama adalah agar hidup manusia semakin baik dan memuliaakan Tuhan. Peraturan agama pertama-tama adalah untuk hidup manusia yang semakin baik, etis dan bermoral. Bukan sebaliknya, manusia untuk peraturan agama. Akibatnya peraturan agama akhirnya diposisikan seperti tuhan, dan menjelma menjadi senjata teologis untuk menghakimi moralitas orang lain. Orang lain selalu dilihat salah, najis dan berdosa, sebaliknya diri sendiri selalu benar, tidak najis dan tidak berdosa. Bagi Yesus, adat istiadat harus sejalan dengan Firman Allah. Keduanya sama-sama untuk memuliakan Tuhan.
KJ.422 : 2,3
Doa : (Ajarlah kami melakukan Firman dan menghormati adat istiadat yang memuliakan Tuhan)